Catatan Perjalanan Musik Anak Indonesia (Bagian 1)

Mengecap ilusi era keemasan lagu anak, tanpa menghirup mewangi kembang se-Taman Siswa.

Tulisan ini merupakan suntingan dari dua tulisan yang menjadi bahan yang disampaikan oleh Peduli Musik Anak sebagai presentan tamu pada acara FGD di Taman Siswa dalam rangka memperingati 100 tahun Pak Katno. Tulisan ini lebih tepat disebut catatan (pribadi) tentang perjalanan industri musik anak Indonesia, yang sebagian besar mencakup gejala di kota-kota besar Pulau Jawa, terutama di Ibu kota Republik Indonesia, tempat saya dibesarkan.Kerangka tulisan ini adalah sbb.:

  1. Perjalanan Lagu Anak
    1. Lagu pop ramah anak
    2. Lagu pop anak: Mazhab komoditas pertama – anak artis penyanyi populer
    3. Lagu pop anak: Mazhab komoditas kedua – era MTV
    4. Lagu anak: Mazhab pendidikan
  2. Lagu pendidikan anak: Nursery rhymes dan tembang dolanan anak
  3. Penutup: Mengembalikan fungsi musik

Lagu pop ramah anak

Saya membatasi catatan ini mulai dari perkembangan musik anak seusai Kemerdekaan RI (1945), yaitu ketika sebagian besar musik dan kegiatan seni dipublikasikan oleh radio (RRI). Sepanjang ingatan masa kecil saya, Lokananta adalah perusahaan rekaman pertama yang membesarkan rekaman-rekaman single atau album musik di saat itu. Dalam era awal kemerdekaan itu, lagu-lagu yang beredar di masyarakat pada umumnya bertemakan semangat perjuangan dan cinta Tanah Air. Secara formal, tidaklah ada isu dan perhatian khusus terhadap materi lagu untuk anak tetapi, ditinjau dari isi dan semangat yang dikembangkan, lagu-lagu (pop dewasa) pada jaman itu terasa aman dan nyaman di telinga segala umur, termasuk bagi anak-anak. Betapa tidak, sejumlah lagu mengejawantahkan semangat perjuangan ke dalam syair yang estetis, santun, serta tergarap dalam tema dengan lirik yang sederhana dan mudah diserap anak, sehingga lagu-lagu itu bisa dikategorikan sebagai lagu untuk anak-anak (dengan penyanyi pop dewasa). Lagu-lagu itu antara lain adalah lagu “Ke Bulan”, “Gang Kelinci” (Lilis Suryani), dan “Waktu Terang Bulan”. Ada juga lagu-lagu yang menggambarkan tempat-tempat tamasya daerah, seperti “Senja di Kaimana”, “Lido”, dan lain-lain. Pada era ini, maestro seperti Bing Slamet dan Titiek Puspa secara tidak langsung memberikan kontribusi besar.

Pada rentang tahun 1960-1970, The Beatles mewabah di Eropa, Amerika, dan juga Tanah Air. Revolusi pop dunia The Beatles itu sempat mengkhawatirkan negara-negara yang baru merdeka dan berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Musik Rock and Roll, yang mereka sebar sebagai Beatlesmania, dikhawatirkan dapat membawa pengaruh negatif bagi perkembangan budaya masing-masing negara tersebut, bahkan bisa mengikisnya. Invasi budaya Barat menjadi momok yang sedemikian menakutkan bagi perkembangan perikehidupan dan budaya Timur. Di Indonesia, Koes Bersaudara (Koes Bers), yang kemudian bermetamorfosis menjadi Koes Plus, sempat dicekal oleh pemerintahan presiden Soekarno dengan alasan telah membawa pengaruh Barat dengan mengadopsi “musik ngak-ngik-ngok” dari The Beatles ke dalam budaya ketimuran Indonesia yang sedang dalam masa pembentukan jatidiri. Kelompok musik, yang merupakan anak-anak dari Koeswoyo Sr. ini bahkan sempat disekap dalam bui ketika gerakan dan kebijakan anti-beatles merebak di beberapa negara berkembang.

Terlepas dari polemik politik-budaya yang berkembang saat itu, saya merasakan pengaruh “revolusi musik” terhadap komposisi lagu pop kita – menjadi lebih Rock and Roll (?), tetapi materi dalam lagu-lagu di masa itu masih tetap ramah anak, bahkan lagu-lagu dari kelompok musik (pop rock) yang populer saat itu, seperti “Bis Sekolah”, “Kolam Susu”, “Nusantara” (Koes Bersaudara/Koes Plus), “Injit-injit Semut” (lagu tradisional dengan aransemen baru), dan “Belikan Baju Baru” dari The Mercy’s.

Posted in Lokakarya and tagged , , , , , , .

Inisiator Gerakan Peduli Musik Anak