Mengecap ilusi era keemasan lagu anak, tanpa menghirup mewangi kembang se-Taman Siswa.
Tulisan ini merupakan suntingan dari dua tulisan yang menjadi bahan yang disampaikan oleh Peduli Musik Anak sebagai presentan tamu pada acara FGD di Taman Siswa dalam rangka memperingati 100 tahun Pak Katno. Tulisan ini lebih tepat disebut catatan (pribadi) tentang perjalanan industri musik anak Indonesia, yang sebagian besar mencakup gejala di kota-kota besar Pulau Jawa, terutama di Ibu kota Republik Indonesia, tempat saya dibesarkan.Kerangka tulisan ini adalah sbb.:
- Perjalanan Lagu Anak
- Lagu pop ramah anak
- Lagu pop anak: Mazhab komoditas pertama – anak artis penyanyi populer
- Lagu pop anak: Mazhab komoditas kedua – era MTV
- Lagu anak: Mazhab pendidikan
- Lagu pendidikan anak: Nursery rhymes dan tembang dolanan anak
- Penutup: Mengembalikan fungsi musik
Lagu pop anak: Mazhab komoditas pertama – anak artis penyanyi popular
Dalam arus revolusi musik pop The Beatles, industri musik Indonesia pun mulai bergeliat dengan berkembangnya perusahaan rekaman baru. Salah satu yang begitu lekat dalam ingatan saya adalah PT. Remaco, yang berjasa membesarkan nama dan katalog lagu-lagu Indonesia. Media elektronik TVRI dan RRI mulai diperkuat dengan munculnya banyak radio swasta.
Di saat-saat awal ini sudah ada lagu-lagu anak yang direkam dan dinyanyikan oleh satu-dua penyanyi cilik, tetapi mereka tidak dipopulerkan sebagaimana mestinya. Di tahun 1976, Chicha Koeswoyo mengeluarkan album dengan lagu single yang fenomenal, “Helli”. Album ini diproduseri oleh ayah Chicha sendiri, yaitu Nomo Koeswoyo, seorang mantan anggota Koes Bersaudara yang menolak bergabung dengan Koes Plus, dan kemudian membentuk No Koes. Peta industri musik anak Indonesia pun seolah menemukan komoditas baru nan segar, yaitu album penyanyi cilik yang menjual kemasan “anak artis penyanyi popular.” Berturut-turut muncul sejumlah artis cilik, mulai dari dua saudara sepupu Chicha, yaitu Sari Yok Koeswoyo (putri Yok Koeswoyo) dan Helen Koeswoyo (putri Yon Koeswoyo), Yoan Tanamal (putri Enteng Tanamal dan Tanti Yosepha), Bobby Shandora (anak pasangan Titiek Shandora dan Muchsin Alatas), Adi Bing Slamet (anak seniman besar Bing Slamet), serta Ira Maya Sopha.
Berbeda dengan penyanyi cilik lainnya, Ira Maya Sopha bukanlah anak artis ternama; ia menjadi penyanyi karena “ditemukan.” Album kedua (?) dari Ira juga tampak memiliki konsep yang berbeda. Albumnya itu serupa album operet dengan tajuk “Cinderella”. Materinya adalah cover version dari lagu-lagu yang liriknya diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia menjadi rangkaian lagu yang menyusun operet tersebut. Lagu yang populer adalah “Sepatu Kaca”.
Dalam corak lagu ini, yang saya sebut sebagai “pop anak”, tampak adanya eksploitasi anak sebagai penyanyi dengan segala predikat kemasan produksi yang menyertainya. Sesungguhnya anak yang menyanyi masih ditempatkan sebagai subyek utama. Karena sang penyanyi (anak) yang akan membawakan lagu, maka isi atau materi lagulah yang harus disesuaikan dengan potensi si anak. Setidak-tidaknya seorang produser lagu pertama-tama akan melihat “karakter vokal” dari si anak, lalu mencarikan atau membuatkan dan mencocokkan materi lagu untuk sang “artis penyanyi cilik.” Materi tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan sesuai dengan “kekuatan musik” si anak, yaitu sebagai hiburan semata atau sebagai alat pendidikan dan pengasuhan. Akan tetapi, karena yang berlaku dalam dunia industri adalah prinsip ekonomi untuk kelangsungan produk massal dan pembagian keuntungan, maka pada kenyataannya yang lebih mengontrol materi lagu adalah penghitungan kebutuhan pasar.