Mengecap ilusi era keemasan lagu anak, tanpa menghirup mewangi kembang se-Taman Siswa.
Tulisan ini merupakan suntingan dari dua tulisan yang menjadi bahan yang disampaikan oleh Peduli Musik Anak sebagai presentan tamu pada acara FGD di Taman Siswa dalam rangka memperingati 100 tahun Pak Katno. Tulisan ini lebih tepat disebut catatan (pribadi) tentang perjalanan industri musik anak Indonesia, yang sebagian besar mencakup gejala di kota-kota besar Pulau Jawa, terutama di Ibu kota Republik Indonesia, tempat saya dibesarkan.Kerangka tulisan ini adalah sbb.:
- Perjalanan Lagu Anak
- Lagu pop ramah anak
- Lagu pop anak: Mazhab komoditas pertama – anak artis penyanyi populer
- Lagu pop anak: Mazhab komoditas kedua – era MTV
- Lagu anak: Mazhab pendidikan
- Lagu pendidikan anak: Nursery rhymes dan tembang dolanan anak
- Penutup: Mengembalikan fungsi musik
Lagu pop anak: Mazhab komoditas kedua – era MTV
Dalam perjalanannya, perkembangan pasar yang bergerak pesat dipengaruhi oleh teknologi dan tren kekinian. Ini mengakibatkan hal-hal ekstramusikal, seperti kreasi lirik, modern sound, marketing gimmick, dan klip video mulai mempengaruhi proses produksi sebuah komposisi lagu anak. Potensi anak (baca: karakter anak berdasarkan tahap perkembangannya) yang semula merupakan acuan bagi penyesuaian materi lagu menjadi terabaikan. Tanpa disadari, posisi anak mulai menjadi obyek semata, dan bahkan yang lebih jauh lagi adalah eksploitasi anak sebagai penyanyi. Tak terhindarkan lagi, lagu anak berkembang mengikuti tuntutan pasar dan tren kekinian pula pada era kecanggihan media yang akhirnya kita kenal sebagai “era MTV” itu. Pada era yang dianggap masa kejayaan lagu anak ini, tren “lirik nakal” (melalui tingkah laku negatif yang laris pada konsep musik dewasa – selingkuh, dll.) juga diterapkan pada lagu anak dengan alasan lebih mudah diingat anak. Komposisi lagu dengan kreasi dan muatan ekstramusikal yang serbamajemuk itu sebenarnya lebih dapat dimaknai oleh orang dewasa daripada anak, karena orang dewasa memiliki proses mental dan kognisi yang lebih tinggi daripada anak.
Tren “lirik nakal” yang sebenarnya memiliki makna negatif (kenakalan secara umum) justru lebih banyak disuguhkan daripada hal positif yang dianggap sudah terlalu biasa (konvensional). Kata-kata “nakal” muncul dalam lagu artis cilik Joshua yang fenomenal, seperti “diobok-obok” dan “mabok”. Upaya menyelipkan pesan-pesan positif menjadi kabur, karena kreasi lirik – termasuk sampiran (pada rima bunyi semacam lagu “Bolo-bolo”, “Bala-bala”, dll.) – menjadi “lebih menarik” daripada pesan nilai formal utama yang seharusnya lebih ditekankan guna penanaman “gizi” pada perbendaharaan kata anak. Dari segi teknis produksi dan pemasaran pun, misalnya pemilihan karakter vokal yang “centil” atau “medok”, lagu dan sound harus ear-catching. Hal-hal ekstramusikal yang kaya akan daya tarik musikal (tetapi semakin ambigu dalam isi pesan dan makna utama) dianggap membawa sukses dan lebih menarik untuk dikonsumsi anak. Demikianlah, industri musik mulai menggarap musik-musik anak yang sejenis itu. Berdasarkan data penjualan rekaman, musik demikian memang dianggap sukses meraup penghasilan sebagai komoditas musik anak. Selanjutnya pendekatan serupa memunculkan nama-nama seperti Maissy, Chiquitta Meidy, dan Trio Kwek-kwek, dengan “kekuatan” masing-masing, sehingga masa itu tergenapkan sebagai jaman keemasan lagu anak. Kejayaan industri musik anak sebagai komoditas.
Di masa ini, tercatat ada produser yang mencoba untuk mengembalikan pemaknaan pesan dalam lagu anak melalui penyanyi cilik seperti Sherina (dengan album berkemasan orkestrasi serta soundtrack film musikal “Sherina”) dan Tasya (yang mendaur ulang banyak lagu A.T. Mahmud). Namun demikian, konsep industri dengan rangkaian pasar dan promosinya telah menjerat kuat produk tersebut dalam pusaran pengembalian modal dari penjualan album.
Wajarlah jika industri musik anak kita kemudian berkembang semakin mengabaikan kapasitas dan potensi anak pada kemasan produknya. Pada beberapa tahun terakhir ini, kita dapat lihat dan cermati berbagai kegiatan komoditas, seperti acara lomba nyanyi anak (tingkat lokal), pencari bakat anak di TV (tingkat regional), dan bahkan berlangsung di sekolah-sekolah formal. Kegiatan tersebut menjadikan format acara serupa sebagai model (benchmark), dengan menetapkan lagu pilihan atau lagu wajibnya dari “lagu-lagu pop dewasa,” yang kebanyakan bertemakan romantisme, konflik keluarga, dan bahkan kekerasan serta seksualitas.
Industri musik merasa sah-sah saja untuk lebih berfokus pada produksi musik hiburan yang beraroma bisnis, karena lagu anak dianggap tidak menguntungkan sehingga tidak layak produksi atau karena lesunya industri musik akibat maraknya pembajakan lagu. Pembajakan inilah yang sering menjadi alasan utamanya. Ini terjadi pada label rekaman yang biasanya konsisten memproduksi materi-materi budaya dan label idealis yang masih menggarap ulang lagu-lagu abadi anak (ciptaan A.T. Mahmud, Pak Kasur, dll.) dalam seri album anak yang digarap oleh Kak Nunuk. Walaupun album-albumnya sempat meraih penghargaan dari industri musik, tetapi aksi pembajakan tak urung menurunkan semangat produksi seri album yang bersangkutan. Dengan sendirinya promosi lagu anak mulai hilang dari peredaran. TV dan radio, yang dulu merupakan media publikasi utama dari lagu-lagu anak, kini seakan-akan “tabu” untuk “mengiklankan” lagu anak, apalagi untuk menayangkannya sebagai materi hiburan khusus anak.