Mengecap ilusi era keemasan lagu anak, tanpa menghirup mewangi kembang se-Taman Siswa.
Tulisan ini merupakan suntingan dari dua tulisan yang menjadi bahan yang disampaikan oleh Peduli Musik Anak sebagai presentan tamu pada acara FGD di Taman Siswa dalam rangka memperingati 100 tahun Pak Katno. Tulisan ini lebih tepat disebut catatan (pribadi) tentang perjalanan industri musik anak Indonesia, yang sebagian besar mencakup gejala di kota-kota besar Pulau Jawa, terutama di Ibu kota Republik Indonesia, tempat saya dibesarkan.Kerangka tulisan ini adalah sbb.:
Lagu anak: Mazhab pendidikan
Era seusai kemerdekaan dan era The Beatles bukan hanya melahirkan lagu pop anak (mazhab komoditas), namun juga memunculkan pendekatan yang lebih menekankan nilai pendidikan. Mazhab pendidikan ini sangat bertolak belakang dengan mazhab lagu pop anak (komoditas). Bertolak dari perkembangan lagu-lagu anak yang diwarnai dengan tema perjuangan, mazhab pendidikan membuat lagu anak berdasarkan kebutuhan pendidikan (persekolahan atau penanaman) nilai-nilai untuk anak. Seorang tokoh fenomenal pencipta lagu anak dengan mazhab ini adalah Ibu Sud, yang sangat dikenal dengan lagu-lagu anak bersemangatkan patriotisme. Itulah salah satu ciri lagu anak dengan mazhab pendidikan. Lagu-lagu tercipta dari dorongan serta semangat pengajaran dan penanaman nilai. Atmosfir penciptaan lagu pun dipengaruhi oleh suasana dan lingkungan pendidikan, seperti dilakukan oleh Pak Kasur, A.T. Mahmud, pak Dal dan kawan-kawan, yang memperkaya materi-materi lagu anak. Para “maestro” lagu anak kita ini rata-rata adalah pendidik yang mengajar di Sekolah Dasar dan Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK). Bapak A.T. Mahmud, misalnya, memulai karirnya sebagai pencipta lagu anak sejak beliau mengajar di SGTK. Beliau adalah “Maestro Lagu Anak” yang diberi penghargaan Piagam Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada di tahun 1999 serta Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah Indonesia dan Lifetime Achievement dari Anugerah Musik Indonesia di tahun 2003.
Dalam perkembangannya, lagu anak-anak tersebut ditunjang oleh industri musik, yang masih bergantung pada media resmi pemerintah (TVRI dan RRI), karena di jaman itu lagu-lagu anak belum direkam dan diedarkan secara komersil. Akan tetapi, kita tidak dapat memungkiri kehadiran berbagai program anak di TVRI yang menjadikan lagu-lagu anak di era itu menjadi sangat dekat dengan konsep pendidikan melalui keluarga. Program-program itu adalah Taman Indria (dipandu oleh Ibu dan Bapak Kasur), Ayo Menyanyi (dipandu oleh Ibu Fat, dengan Ibu Meinar sebagai pianis), Bina Musika (asuhan Kak Agus Rusli) dan yang cukup fenomenal adalah Bina Vokalia (panduan Bapak Pranajaya).
Entah karena semakin banyaknya TV swasta dengan persaingan program dan target pasar ataukah karena konsep program yang dianggap sudah ketinggalan jaman, maka program acara Ayo Menyanyi yang digarap oleh A.T. Mahmud sejak tahun 1968 dibubarkan oleh TVRI pada tahun 1988. Padahal konsep program Ayo Menyanyi ini dirancang A.T. Mahmud untuk memperkenalkan lagu anak-anak dari berbagai pencipta lagu terdahulu, seperti Ibu Sud, Pak Dal, Pak Tono, SM. Moechtar, dan lain-lain. Acara tersebut juga memberikan kesempatan kepada pencipta lagu baru untuk memperkenalkan lagunya. Ayo Menyanyi juga menjadi tempat terbaik untuk memperkenalkan lagu-lagu anak dan bertahan selama 20 tahun masa tayang. Selama beberapa tahun terakhir, ada upaya-upaya dalam industri musik untuk mengangkat kembali lagu-lagu bertemakan pendidikan. Upaya itu mulai dari pembuatan album daur ulang karya-karya A.T. Mahmud sampai dengan pembuatan film musikal “Ambilkan Bulan”. Akan tetapi, banyak pihak beranggapan bahwa lagu-lagu “abadi” tersebut sebagai lagu yang ketinggalan jaman dan sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat modern.
Apakah benar bahwa lagu anak-anak “abadi” sudah ketinggalan jaman? Dari sudut tren (pendekatan) musik pop mungkin bisa saja benar, namun tren musik juga terus berputar sehingga kita mengenal adanya genre musik retro yang membawa suasana masa lalu. Yang lebih nyata adalah budaya daur-ulang lagu, yang kemudian membuat kita bertanya-tanya adakah lagu yang benar-benar “ketinggalan jaman”? Akan tetapi, dengan sudut pandang industri musik (penyebaran untuk pangsa pasar musik), topik ini masih bisa menjadi perdebatan (yang kalah) seru.