Mengecap ilusi era keemasan lagu anak, tanpa menghirup mewangi kembang se-Taman Siswa.
Tulisan ini merupakan suntingan dari dua tulisan yang menjadi bahan yang disampaikan oleh Peduli Musik Anak sebagai presentan tamu pada acara FGD di Taman Siswa dalam rangka memperingati 100 tahun Pak Katno. Tulisan ini lebih tepat disebut catatan (pribadi) tentang perjalanan industri musik anak Indonesia, yang sebagian besar mencakup gejala di kota-kota besar Pulau Jawa, terutama di Ibu kota Republik Indonesia, tempat saya dibesarkan.Kerangka tulisan ini adalah sbb.:
- Perjalanan Lagu Anak
- Lagu pendidikan anak: Nursery rhymes dan tembang dolanan anak
- Penutup: Mengembalikan fungsi musik
Lagu Pendidikan Anak: Nursery rhymes
Dalam perkembangan musik anak di Eropa dan Amerika sejak awal abad 19, lagu-lagu pengasuhan yang disebut sebagai Nursery Rhyme telah dan tetap menjadi pedoman dan pengantar nilai-nilai dasar pendidikan atau budaya pengasuhan, khususnya untuk anak usia dini. Lagu-lagu (pengasuhan) anak, yang disebut juga Mother Goose’s Song, adalah lagu yang diturunkan dari generasi ke generasi, seperti lagu Twinkle Little star, Baa baa Black Sheep, Mary Had a Little Lamb, tidak pernah dibuang jauh dari koleksi playlist orang tua. Bahkan industri musik anak di sana masih menerbitkan buku-buku berisi kumpulan lagu anak yang dicetak dan disajikan mewah dengan harga jual yang bersaing dengan buku-buku musik populer. Saya bahkan tertarik untuk mengoleksi buku karya Amy Appleby yang berjudul The Piano Bench of Children’s Songs (terbitan Amsco Publications). Buku ini berisi sekitar 300 lagu anak sepanjang masa yang (lebih menakjubkan lagi) dipilah-pilah berdasarkan 12 kategori, antara lain Fun Songs and Dance, Singing and Learning, Animal Songs, Singing with Grandma, dan lain-lain. Suatu sajian dan upaya mengoptimalkan materi musik anak secara fungsional yang tampaknya belum ada dalam kamus industri musik anak kita.
Dari awal abad 19, para pendidik di Amerika dengan berbagai penelitiannya meyakinkan bahwa musik berpengaruh kepada kehendak seseorang. Dengan demikian, musik pun dapat mengantar serta membentuk karakter dan pola tingkah laku manusia (Philiph M. Hash, 2000). Khusus mengenai Nursery Rhymes, hasil riset KBYU Eleven yang dijadikan modul lokakarya menyebutkan:
“Nyanyian dan syair berima untuk anak-anak selalu diturunkan dari generasi ke generasi. Merupakan kegiatan bersama yang sangat menyenangkan, anak-anak menyukainya, dan menciptakan suasana pengasuhan yang hangat antara orang tua dan anak-anak. Yang mungkin tidak kita sadari, ketika kita membacakan Nursery Rhymes yang sederhana atau menyanyikannya bersama anak, ada manfaat pendidikan nilai yang sangat berharga” (KBYU Eleven, 2010).
Lagu Pendidikan Anak: Tembang dolanan anak
Nursery Rhymes seharusnya tidak terlalu asing di telinga pemerhati anak di Indonesia, tetapi pada kenyataannya ia masih sangat asing dalam perbendaharaan perangkat dunia pendidikan kita, apalagi untuk menjadi isu dalam industri musik. Akibatnya, ia tidak populer dan tidak pernah diperhatikan dalam sejarah musik anak kita yang lebih memilih pendekatan industri (komoditas) daripada pendekatan pendidikan (atau pengasuhan dan perkembangan anak).
Ciri-ciri dari lagu jenis Nursery Rhymes antara lain adalah rima tanpa makna (nonsense rhymes), lagu pengantar tidur (lullabies), permainan jari, rima berhitung, teka-teki, permainan, lagu dan balada. Ciri-ciri ini sangatlah sesuai dengan pola “Tembang Dolanan Anak” yang sarat dengan karakter lagu-lagu anak khas budaya setempat. Jadi, sebenarnya materi lagu anak serupa Nursery Rhyme sudah banyak digunakan di Indonesia sejak dulu. Kita mengenal “Uro-uro” di Jawa, “sekaran” di Sunda), dan “dodaidi” di Aceh. Di berbagai daerah yang tersebar dari Barat sampai ke Timur Indonesia, tak terhingga banyaknya nursery rhymes yang terpendam dan tidak pernah dimaknai, bahkan sudah samar terdengar lagi.