Catatan Perjalanan Musik Anak Indonesia (Bagian 6)

Mengecap ilusi era keemasan lagu anak, tanpa menghirup mewangi kembang se-Taman Siswa.

Tulisan ini merupakan suntingan dari dua tulisan yang menjadi bahan yang disampaikan oleh Peduli Musik Anak sebagai presentan tamu pada acara FGD di Taman Siswa dalam rangka memperingati 100 tahun Pak Katno. Tulisan ini lebih tepat disebut catatan (pribadi) tentang perjalanan industri musik anak Indonesia, yang sebagian besar mencakup gejala di kota-kota besar Pulau Jawa, terutama di Ibu kota Republik Indonesia, tempat saya dibesarkan.Kerangka tulisan ini adalah sbb.:

  1. Perjalanan Lagu Anak
    1. Lagu pop ramah anak
    2. Lagu pop anak: Mazhab komoditas pertama – anak artis penyanyi populer
    3. Lagu pop anak: Mazhab komoditas kedua – era MTV
    4. Lagu anak: Mazhab pendidikan
  2. Lagu pendidikan anak: Nursery rhymes dan tembang dolanan anak
  3. Penutup: Mengembalikan fungsi musik

Penutup: Mengembalikan fungsi musik

Walau sampai sekarang masih “terdengar lamat-lamat” orang-tua mengajarkan anak mereka lagu “Potong bebek angsa”, “Ular naga (panjang-nya)” dan lain-lain, tetapi lagu-lagu tersebut sudah tidak lagi didampingkan dengan makna permainannya. Inilah salah satu contoh pengabaian fungsi pendidikan dalam lagu anak, karena industri musik Indonesia melulu berpikir tentang hiburan sebagai daya tarik kemasan, sehingga lagu berakhir sebagai produk (komoditas) populer. Lagu anak direduksi fungsinya, yang bisa saja menjadi tersangka salah satu penyebab “hilangnya lagu anak.” Alih-alih dapat menguatkan dan mengembalikan jaman keemasan lagu anak agar lebih optimal serta bermuatan hiburan dan pendidikan yang berimbang, industri musik ternyata hanya memperbanyak lagu baru, mencari gaya dan trend musik, serta mencari sosok penyanyi cilik dengan berbagai format acara “pencari bakat” agar terjual sehingga merata distribusi albumnya.

Kejayaan lagu anak hanyalah berupa keberhasilan bisnis musik (yang relatif) sesaat, yang bergantung pada naik-turunnya kondisi perekonomian. Pangsa dinamika pasar yang kandas berujung pada hilangnya dan tersingkirkannya lagu anak dari peredaran keseharian. Padahal lagu anak (yang niscaya) abadi adalah “gizi” yang mengandung pola asuh dan pembelajaran bagi anak atau siswa didik yang menetap pula. Tinggal kitalah sebagai salah satu pilar pendidikan yang harus memulai lagi dan konsisten menerapkannya dalam sistem pengasuhan dan pendidikan anak yang lebih ajek.

Musik anak tempatnya di ruang tidur anak, ruang keluarga, ruang belajar (baik di rumah atau di sekolah), taman bermain, kegiatan rekreasi dan tamasya keluarga. Musik anak menemani dan mengantar komunikasi anak dengan orang tua serta keluarga dewasa. Musik dapat dilengkapi kendang, harmonika, piano atau gitar, serta diperkaya dengan buku-buku lagu atau dongeng yang bersahaja. Lagu nina bobo atau uro-uro sarat dengan nilai yang kuat pula. Lagu-lagu baru seperti karya para maestro Nusantara pun bisa demikian, sehingga dapat dijadikan landasan dan padan hak anak. Kita perlu bersinambung menyuguhkan musik anak yang sesuai dengan usia, pikiran, dan tingkah laku anak-anak (seperti diharapkan oleh A.T. Mahmud).

Semboyan “Tut Wuri Handayani” yang terpampang di depan istana pendidikan tentunya sarat dengan muatan pendidikan. Akan tetapi, karya-karya Ki Hadi Sukatno yang lahir di mata air “sekolah bangsa” Taman Siswa tidak layak hanya dijadikan kenangan indah para orang tua semata. Modul pendidikan anak yang terbenam di sana, berupa lagu dolanan dan langen carita, adalah hak anak-anak bangsa untuk mewarisinya sebagai karya yang mumpuni. Seperti halnya Nursery Rhymes dapat terus hadir “membesarkan” tokoh-tokoh dunia, maka “tembang dolanan anak” seyogyanya kembali diturunkan antargenerasi bangsa sesuai fungsinya untuk mendidik dan mencerdaskan anak-anak kita. Ia harus terus terpapar luas. Jangan makin terkubur, tertutup dan stagnan terhambat oleh “kekinian.” Bahkan yang lebih memilukan adalah jika ia hanya bisa menjadi harapan dalam “bagian penutup” yang singkat dari catatan perjalanan panjang musik anak Indonesia ini.

Adalah perjuangan kita untuk membuat sejarah musik anak Indonesia menjadi lebih baik, dengan mengembalikan fungsi musik anak ke dalam “sistem among” yang sudah membesarkan anak-anak bangsa. Biarkan semangat Taman Siswa menebar wanginya ke pelosok Nusantara serta membuat semua anak tersenyum bahagia dan bangga berkarya sebagai anak Indonesia.

Terima kasih serta doa khusuk bagi Pak Katno dan para Seniman Daerah, yang lebih dikenal dengan N.N., atas terlahirnya keindahan Tembang Dolanan Anak. Musik adalah produk budaya yang akan lebih lekat memaknai pendidikan, perkembangan karakter dan asah-asih-asuh anak bangsa.

Referensi :

Ammazona’s Blog, 16 Maret 2010. Konsep Pendidikan Konvensional vs Edutainment. https://ammazona.wordpress.com/konsep-pendidikan-konvensional-vs-edutainment/

Hash Phillip M., __. Character Development and Social Reconstruction in Music Education at the Turn of the Twentieth Century, [pdf], (http://www-usr.rider.edu/~vrme/v11n1/vision/Hash.pdf).

KBYU Eleven.org, 2010. Rhymers are Readers: The importance of nursery rhymes, [pdf], (http://www.kbyutv.org/kidsandfamily/readytolearn/file.axd?file=2011%2F3%2F2+Rhymers+are+Readers-Why+Important.pdf)

Tembang Kenangan, 28 April 2012. Mengapa Justru “Chica Koeswoyo”? http://klipingartislawasindonesia.blogspot.com/2012/04/mengapa-justru-chicha-koeswoyo.html

Tembang Kenangan, 18 September 2014. Ira Maya Sopha: Tukeran ibu dengan Adi Bing Slamet. http://klipingartislawasindonesia.blogspot.co.id/2014/09/ira-maya-sopha-tukeran-ibu-dengan-adi.html

Wikipedia, 2004. Abdullah Totong Mahmud. http://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Totong_Mahmud.

Wikipedia, 2012. Hadi Sukatno. http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadi_Sukatno.

Wikipedia, 2014. Saridjah Niung. http://id.wikipedia.org/wiki/Saridjah_Niung.

Posted in Lokakarya and tagged , , , , , , , .

Inisiator Gerakan Peduli Musik Anak